Refleksi Pergerakan Mahasiswa

Himpunan Mahasiswa Pakkat
Gagasan menulis refleksi tentang gerakan mahasiswa karya Ernest Mandel yang berjudul “Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek”  ini dilatarbelakangi sebuah “hentakan” dalam pikiran saya mengenai korelasi dan relevansi tulisan tersebut dengan situasi gerakan mahasiswa Indonesia saat ini, khususnya yang terjadi di UI. Tulisan Ernest Mandel ini merupakan kumpulan dari pidato dia yang mengangkat tema gerakan mahasiswa. Tema ini diangkatnya sebagai respon atas kecenderungan aktivisme dan spontanisme di kalangan aktivis radikal, khususnya mahasiswa. Untuk membahas ini dia menggunakan tools tentang pentingnya kesatuan teori dan praktek dalam perlawanan revolusioner.
Selanjutnya, menyambung tulisan Ernest Mandel tersebut, saya juga akan memberikanreview terhadap tulisan Duncan Hallas yang berjudul “Agitasi dan Propaganda”. Penyatuan dua tulisan pemikir tersebut dalam satu coretan ini dikarenakan kaitan dari keduanya yang erat. Selain itu, juga dilatarbelakangi oleh pengalaman empiris bahwa kesatuan teori dan praktek di lapangan menuntut akan adanya pengorganisiran massa. Pemahaman tentang pengorganisiran ini menyangkut tentang bagaimana berpropaganda dan mengagitasi kelompok atau massa. Hal ini yang akan dijelaskan dari pembacaan tulisan Duncan Hallas tersebut.
Kesatuan Teori dan Praktek
Persatuan teori dan praktek merupakan pelajaraan paling berharga dari revolusi-revolusi di Eropa dan belahan dunia lainnya. Gagasan untuk menyatukan antara keduanya dimulai dari pendapat para filsuf seperti Babeuf, Hegel hingga Marx. Penyatuan teori dan praktek memiliki dimensi bahwa upaya pembebasan manusia dari genggaman sistem ekonomi yang  kapilatistik harus dilakukan secara sadar. Implikasinya, setiap elemen yang melakukan hal tersebut harus menyadari kondisi realdimana ia berada. Aspek ekonomi, sosial dan politik harus menjadi kajian pertama untuk mendefinisikan seperti apa kondisi di sekitar subyek perlawanan tersebut. Bila menggunakan teori Marx, revolusi hanya dapat dilakukan secara sadar dimana orang memahami azas masyarakatnya dan faktor pendorong gerak perkembangan sosial ekonominya. Tanpa mengetahui ini, revolusi hanya akan menjadi sebuah utopia saja. Gagasan tentang penyatuan teori dan praktek harus dimulai dari preposisi ini. Kesadaran tentang posisi dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di sekitar mahasiswa hidup harus di-clear-kan terlebih dahulu, sehingga dia bisa memahami apa yang menjadi musuh zamannya.
Untuk hal ini, sudahkan kita lakukan?
Munculnya gerakan mahasiswa di dunia Barat menurut Ernest Mandel pada umumnya disebabkan oleh permasalahan di sekitar mahasiswa itu sendiri. Permasalahan dimulai dari adanya ketegangan antara mahasiswa dengan Universitas, Institut atau Sekolah Tinggi dimana dia bernaung. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi yang terjadi di dunia ketiga. Perlawanan mahasiswa dan non-mahasiswa di sana lebih didorong oleh realitas mereka yang masih di bawah penjajahan.
Sebagian besar anak muda di dunia Barat yang masuk ke Universitas berasal dari kalangan  menengah atas. Kondisi ini membuat mereka tidak memiliki keterkaitan erat dengan dunia perlawanan, baik di rumah ataupun masyarakatnya. Di sisi lain, kondisi mahasiswa yang berasal dari kalangan bawah menjadi sangat minor. Segmen ini yang sebenarnya memiliki potensi perlawanan yang lebih besar di sana. Namun secara umum mahasiswa-mahasiswa tersebut, baik dari kalangan menengah-atas danproletar, menemukan keadaan yang menuntut mereka untuk harus melawan setelah mereka masuk dan merasakan sendiri realitas di Universitas. Hal ini yang akhirnya menuntun mereka pada perlawanan mahasiswa secara meluas. Perlawanan ini dikarenakan oleh sebuah kondisi yang digambarkan Ernest Mandel sebagai berikut, “…ini  sudah mencakup  organisasi,  struktur  dan kurikulum  universitas  yang amat tidak memadai dan  serangkaian fakta  material, sosial dan politik yang dialami  dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh kebanyakan mahasiswa.”[4]
Di sisi lain, menurut pendidik dari Kanada yang dikutip Ernest, sebab dari adanya perlawanan mahasiswa ini lebih pada aspek materialnya. Universitas dalam hal ini menciptakan “proletariat” baru dimana mahasiswa tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam penentuan kurikulum, dan tidak berhak menentukan kehidupan mereka sendiri selama di kampus. Semua wewenang tersebut dipegang dan diatur secara ketat oleh kampus. Hal ini yang membuat mahasiswa berada dalam keterasingan (alienasi) dengan kehidupannya sendiri. Kehendak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan minat dan kapasitasnya dibatasi oleh sistem. Semua diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri yang kapitalistik. Dalam analisisnya, Ernest memandang bahwa hal ini dipengaruhi oleh sistem yang berlangsung di masyarakat. Bentuk kesewenangan struktur di universitas borjuis merupakan cerminan atas apa yang ada di masyarakat borjuis. Kesewenangan di keduanya ini yang ditentang oleh mahasiswa secara umum. Di sisi lain, mereka juga mendapatkan tantangan dari substansi pendidikan yang diperolehnya. Pendidikan tidak memberikan analisis ilmiah yang obyektif atas realitas dunia. Kondisi ini tentu tidak  memuaskan mahasiswa yang umumnya haus akan ilmu yang sesuai dengan zamannya. Isu ini yang menjadikan tantangan mahasiswa menjadi dua, yaitu struktur organisasi dan substansi pendidikan. Ini yang kemudian menjadi sebab mahasiswa melawan dan memberontak atas institusinya sendiri.
Universitas borjuis dalam melihat perlawanan tersebut berusaha meredam dengan memberikan solusi yang sifatnya reformasi Universitas. Namun hal ini tidak pernah berhasil meredam perlawanan mahasiswa, karena tidak pernah menyentuh akar permasalahan. Akar permasalahan yang dimaksud adalah keterasingan (alienasi) mahasiswa yang disebabkan oleh struktur dan substansi pendidikan tadi. Reformasi yang ditawarkan justru mempertinggi keterasingan dengan mengarahkan pendidikan pada kebutuhan ekonomi dan kapital. Untuk menjawab adanya proletariat di kampus tadi, para profesor ini justru mengarahkan agar pendidikan sesuai dengan kebutuhan pasar industri saja, sehingga pengangguran bisa dihilangkan. Hal ini membuat keterasingan semakin besar karena tidak membuat mahasiswa menemukan struktur dan substansi pendidikan yang sesuai dengan keinginannya. Mahasiswa justru semakin kehilangan kesempatan untuk memilih karir, bidang studi, dan peminatan yang sesuai dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka dipaksa menerima pekerjaan, bidang studi dan peminatan yang ditentukan kebutuhan industri. Hal ini dikarenakan posisi universitas yang berada di bawah kendali kebutuhan ekonomi kapitalisme. Tentu reformasi seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Lantas bagaimana menyelesaikan masalah ini?
Untuk menyelesaikan hal ini, perlu ada upaya untuk menghilangkan alienasi atau keterasingan. Mahasiswa di Barat pada tataran ini menyadari bahwa akar dari adanya alienasi adalah kapitalisme, selama masih ada kapitalisme maka akan tetap ada bentuk alienasi dalam setiap sektor kehidupan masyarakat, termasuk di Universitas. Kesadaran ini kemudian menuntun bentuk baru dalam perlawanan mahasiswa. Penghilangan alienasi tidak bisa dilakukan di kampus saja, melainkan dimulai di masyarakat dengan menghantam pola kehidupan kapitalisme yang menjadi sebab adanya alienasi tersebut. Hal ini dikarenakan pengubahan sebuah segmen tertentu di masyarakat, dalam hal ini universitas, tidak dapat dilakukan tanpa mengubah tatanan masyarakat secara luas. Singkatnya mereka menyadari bahwa apa yang terjadi di kampus mereka disebabkan oleh sistem kapitalisme yang sudah menjalar dalam setiap sektor kehidupan, termasuk kampus mereka. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa di Barat secara revolusioner mulai mengubah haluan dalam perlawanannya. Dimulai dari isu kampus beralih ke isu-isu sosial-politik di sekitar mereka. Titik poin hantaman mereka adalah sistem kapitalisme yang ada di dunia. Perlawanan pun berubah menjadi lintas batas Universitas. Solidaritas atas perjuangan yang sama pun akhirnya terjalin di dunia karena adanya persamaan sasaran tembak. Ini adalah penelusuran sejarah gerakan mahasiswa secara historis materialisme (Histomat) yang terjadi di Barat.
Apakah hal ini juga yang terjadi dalam gerakan mahasiswa di Indonesia, khususnya UI? Perlu kita renungkan bersama atas pelajaran dari kawan-kawan kita di Barat.
Dalam mewujudkan perlawanan tersebut, maka mutlak diperlukan adanya sebuah kesatuan teori dan praktek. Dalam hal ini, sebuah anggapan bahwa teori dan praktek bisa dipertentangkan atau dipisahkan merupakan hal yang salah. Aksi tanpa teori tak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, dan teori tanpa aksi hanya akan menjadikan teori sebagai lelucuan belaka, karena tak pernah dilakukan pengujian atasnya. Kesadaran dalam bergerak dilandasi akan pemahaman teori yang harus mendalam. Tindak lanjutnya akan timbul sebuah kesadaran dalam diri mahasiswa. Kesadaran inilah yang menjadi titik utama untuk mempraktekan teori dalam sebuah aksi nyata. Kita harus mulai menghindari dikotomi pola pikir yang salah antara mana yang lebih penting dari keduanya. Keduanya memiliki sifat yang sejajar dan simetris sehingga keduanya harus menyatu dalam gerak perlawanan.
Dikotomi yang lumrah dalam dunia gerakan mahasiswa adalah adanya kerja intelektual dan kerja manual. Hal ini harus dihilangkan karena menjadi wujud dasar adanya pemisahan antara teori dan praktek. Pemisahan atau penggolongan kerja di antara aktivis yang berfokus pada aktivisme berpikir dan aktivisme secara kasar merupakan suatu penyakit dalam perjuangan revolusioner. Hal ini menyebabkan kontadiksi antara apa yang dilakukan oleh aktivis dengan apa yang dicita-citakannya. Sebuah harapan untuk menghilangkan ketimpangan, tetapi justru membuat ketimpangan itu sendiri. Pemisahan teori dan praktek melalui dikotomi kerja intelektual dan manual akan menyebabkan sebuah ketimpangan baru dalam birokrasi. Sebuah anggapan bahwa kerja intelektual lebih terhormat dari kerja manual atau sebaliknya merupakan implikasi dari adanya ketimpangan tersebut. Kerja intelektual dan manual dalam perjuangan revolusioner harus berjalan paralel, artinya setiap orang harus bisa mengintegrasikan antara kemampuan intelektual dan manualnya. Dalam hal ini, ungkapan Ernest Mandel sangatlah tepat, “…Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi  yang baik jika tidak terlibat dalam aksi,  dan  tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima, memperkuat dan memajukan teori.”[5] Idealnya gerakan mahasiswa haruslah menjadi seperti itu.
Pemisahan teori dan praktek melalui dikotomi kerja intelektual dan manual dalam gerakan mahasiswa mutlak harus dihilangkan. Bentuk pemisahan yang pure dari sekelompok orang yang bertugas membuat kajian saja dengan sekelompok orang yang bertugas pokok dalam propaganda harus dihilangkan barrier-nya. Dalam gerakan mahasiswa, setiap unsur harus memiliki kemampuan dalam berteori dan beraksi jika perubahan mendasar menjadi targetnya. Dalam hal ini Ernest Mandell menggambarkan mahasiswa yang “paripurna” dalam gerakan sebagai berikut,  “Di  sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur  mempertahankannya, dan pada saat yang sama dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi  dengan sosiolog terkemuka, ahli politik dan ekonomi dan mengalahkan mereka dalam bidang ilmu mereka sendiri.”[6]Hal ini yang muncul dalam gerakan mahasiswa  di Perancis, Jerman dan Italia.
Dalam tesis Ernest, kesatuan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama jika itu dituangkan dalam organisasi revolusioner. Hal ini dikarenakan posisi mahasiswa yang tidak lama di kampus. Mahasiswa berada di kampus mungkin hanya selama empat atau lima tahun, sedangkan perjuangan revolusioner tidak dapat berlangsung seketika. Oleh karena itu, keberlangsungan perjuangan revolusioner melalui penggabungan antara teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa harus dijaga dengan organisasi yang revolusioner tersebut. Organisasi revolusioner dalam gagasan Ernest adalah bergabungnya mahasiswa dan unsur-unsur progresif lain di masyarakat. Di Barat, gagasan ini diwujudkan dengan bergabungnya mahasiswa dengan gerakan buruh. Hal ini bisa kita lihat dalam aksi mahasiswa di Perancis pada tahun 1968 dan gerakan mahasiswa di Turin, Italia.
Bergabungnya mahasiswa dengan unsur lain di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Mahasiswa harus menghilangkan egonya untuk berjuang sendiri dan menjadi entitas tersendiri yang bisa mengalahkan musuhnya sendiri pula. Hal tersebut merupakan sebuah kemustahilan. Kegunaan antara integrasi mahasiswa dan gerakan revolusioner lainnya di masyarakat dalam sebuah organisasi revolusioner merupakan upaya untuk menjadikan interaksi timbal balik yang terus menerus, saling menguatkan dengan tujuan yang sama. Musuh saat ini, saya kira juga merupakan hal yang sama, jika kita berpikir dalam abstraksi yang lebih tinggi. Dalam kasus Indonesia, mahasiswa saat ini harus mulai melebur dengan gerakan buruh, tani, nelayan dan organisasi revolusioner lainnya. Mitos bahwa gerakan mahasiswa harus independen dalam arti an sich harus dihilangkan. Justru mahasiswa harus menyelam ke dunia  masyarakat secara mendalam untuk ikut berjuang bersama masyarakat. Dalam hal ini mahasiswa bukanlah guru mereka dan masyarakat sebagai obyek sosialisasi mahasiswa, tapi dalam perjuangan yang sebenarnya. Hal ini  didasarkan oleh musuh yang bukan lagi negara atau rezim yang dzalim atau pun aparatus yang represif. Musuh saat ini adalah sebuah sistem. Sistem yang sifatnya sudah transnasional, yaitu  kapitalisme. Negara berada dalam sub-ordinat sistem kapitalisme yang membelenggu masyarakat sendiri. Oleh karena itu perlawanan harus dilakukan secara bersama-sama antara mahasiswa dan masyarakat secara metodis, sistematis, dan programis.
Hal yang tak kalah penting dalam mewujudkan kesatuan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa yang progresif dan revolusionner adalah semangat solidaritas. Semangat ini bisa mencangkup tingkat nasional dan internasional. Gerakan mahasiswa di belahan dunia lainnya juga mengalami  apa  yang ada di Barat. Maka semangat  untuk saling mendukung dalam perjuangan mutlak diperlukan. Dan saya kira bergabungnnya mahasiswa dalam aliansi internasional yang lintas batas negara terkait perjuangan yang sama perlu dilakukan. Akar masalah yang dialami mahasiswa di Chile juga sama dengan apa yang kita alami di sini. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa saat ini perlu bervisi untuk bergabung dengan gerakan mahasiswa internasional dan gerakan progresif dan revolusioner lainnya.
Maka, apakah kita sebagai gerakan mahasiswa akan tetap berada dalam jalur yang berbeda dengan gerakan buruh, tani, nelayan dan organisasi progresif lainnya dalam rangka menjaga  “mitos” independensi?
Agitasi dan Propaganda
Melanjutkan pembahasan tentang kesatuan teori dan praktek dalam dunia gerakan mahasiswa, saya kira perlu pemahaman yang mendalam untuk mewujudkan teori tersebut dalam praktek. Praktek di sini memiliki pengertian yang dekat dengan aksi, walaupun bentuk aksi bisa berbeda-beda. Namun upaya untuk itu mutlak diperlukan sebagai sebuah usaha untuk mengumpulkan manusia dalam interest yang sama. Dalam usaha ini, agitasi dan propaganda diperlukan. Maka tulisan Duncan Hallas yang berjudul “Agitasi dan Propaganda” diharapkan dapat membantu pemahaman akan hal tersebut.
Dalam kamus Oxford, agitasi memiliki arti “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”, sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin”. Dalam penjelasan Duncan, agitasi memfokuskan pada sebuah isu kemudian mendorong orang untuk bertindak atas isu tersebut, sedangkan propaganda berkaitan dengan penjelasan gagasan secara  terinci dan sistematis. Plekhanov memberikan pembedaan dalam hal ini. Menurut dia, “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people).”[7] Pembedaannya dalam gagasan yang diberikan dan kuantitas orang yang dituju. Sedangkan “ulama” besar Marxis, Lenin, dalam bukunya What is to be Done menyatakan jika keduanya berbeda dalam menyikapi sebuah isu. Menurutnya,
“Seorang propagandis yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Meskipun demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang sama, akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan (impoverishment) dsb., dan penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh semua orang, akan mengarahkan upayanya menjadi penyajian sebuah gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak; seorang agitator dengan memakai bahasa lisan.” (Lenin, 1902)[8]
Contoh kasus yang Lenin berikan tersebut telah memberikan gambaran secara gamblang bagaimana seorang propagandis dan agitator bekerja. Keduanya memiliki cara yang berbeda, namun keduanya tetap dalam koridor yang sama yaitu  penyatuan antara teori dan praktek. Seorang propagandis dan agitator haruslah memiliki pemahaman yang mendalam akan sebuah teori, dan keduanya harus terlibat dalam sebuah pengorganisiran massa.[9]
Propaganda terbagi dalam dua jenis, yaitu propaganda abstrak dan realistik. Propaganda abstrak memiliki pengertian bahwa gagasan yang diajukan sepenuhnya benar, namun tidak terkait dengan perjuangan saat ini atau dengan tingkat kesadaran yang ada di antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Contohnya adalah  penghapusan sistem upah dalam sosialisme adalah benar, namun jika itu ditawarkan saat ini tentu tidak tepat karena kesadaran buruh belum sampai di situ. Sedangkan propaganda realistik adalah pengolahan isu yang real terjadi dan argumen yang menjelaskan hal tersebut. Contohnya, propagandis realistis di sebuah pabrik tidak akan mengusulkan penghapusan sistem upah. Ia (laki-laki atau perempuan) akan mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat mengarahkan perjuangan ke kemenangan seperti  peningkatan upah, dll.
Agitasi dan propaganda haruslah menjadi sebuah usaha pengorganisiran massa di Universitas dalam gerakan mahasiswa. Hal ini yang mungkin menjadi kekurangan gerakan mahasiswa saat ini, saat gerakan mahasiswa mulai ditinggalkan mahasiswanya sendiri. Dalam melakukan ini tentu bukanlah sebuah hal yang mudah. Oleh karena itu, upaya untuk belajar mengorganisir massa harus terus dimunculkan. Mungkin hal ini bisa kita temukan dalam gerakan lain di masyarakat. Harapannya, sebuah aksi pencerdasan bukanlah ritual belaka sebelum aksi saja. Tapi sebuah upaya yang terorganisir dengan cara agitasi dan propaganda yang benar sebagai sarana penyatuan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Komentar