Dalam
keadaan yang sangat krusial seperti sekarang ini, segala sesuatu mungkin bisa
dilegalkan dari segala sudut pandang. Orang bilang bahwa kebenaran tak punya
batasan untuk kemanusiaan. Kekacauan sosial, ketidakstabilan pemerintahan,
sampai pada ketidak – percayaan manusia kepada manusia itu sendiri. Ini tentu
bukan pertama kalinya. Polemik ini semakin krusial ditengah – tengah basis
Negara yang sosialis. Lalu bagaimana kita hidup dengan sesungguhnya? Segala
sesuatu punya waktunya, segala sesuatu juga punya hidup dan sudut pandangnya.
Lantas yang mana jadi pedoman? Di dunia pendidikan, sosial, ekonomi,
pemerintahan, dan lain sebagainya asal masih terkait dengan kehidupan manusia.
Apakah semua itu kebetulan? Kadang
merasa heran ketika kebaikan itu dikatakan tidak pernah terjadi kebaikan,
mengapa? Tentu untuk mengangkat eksistensinya Tuhan. Apa itu salah? Tentu saja
tidak. Kita masuk pada kebenaran yang subjektif. Lalu bagaimana dengan
keburukan? Tentu itu juga bukan karna kebetulan bukan. Melihat kejadian sekarang
ini, pasti ada suatu keburukan masa yang menjadi turunan sampai sekarang.
Pertanyaanya zaman mana yang terlihat menyakitkan?
Melaksanakan suatu kesalahan sudah biasa. Yang belum
biasa bagaimana kita menyelesaikan sebuah kesalahan menjadi sebuah kebaikan
bagi semua orang? Kita sudah 7 turunan, sampai pada 70 tahun merdeka. Jangankan
kepada Negara, untuk diri sendiri pun kita di kacaukan. Apa yang kurang di
negeri ini? Kekayaan alam yang seperti surga dunia sampai pada catatan –
catatan idealis terbaik untu dilaksanakan dalam gambaran pancasila dan merah
putih. Tapi itu hanya harapan kesunyian, bahkan pendidikan hanya bisa menghasilkan tenaga buruk dan budak
Tapi apa kita selalu merasa baik?
bicara tentang kebaikan, tentu gak bisa dipisahkan dengan perasaan. Perasaan
yang cemas serta kekwatiran untuk setiap hari, pasti itu bukan lambang kebaikan
bukan? Pasalnya seberapa banyak kita alami di dunia yang belum merdeka ini?
Meskipun dikatakan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 yang dikatakan bapak
proklamasi kita. Momentum kegagalan ini hanyalah karena rentetan pemimpin
Negara yang tidak punya jiwa untuk sebuah sosialis dan lupa pada dasar Negara.
Di mulai dengan pemimpin yang dikatakan pemikir dan pejuang tapi berakhir
dengan tidak normal, sampai pada seorang pengabdi Negara tapi berakhir dengan
kekejian. Kemudian dengan penemu yang banyak penggemarnya, tapi yang adanya
hanya membuat rakyat berakhir dalam kebohongan. Presiden kita buta yang
selanjutnya, dengan nada – nada yang ingin dijadikan pahlawan nasional.
Bagaimana tidak, itu mungkin membawa Negara pada rentetan kepalsuan dari kata
merdeka dan sejahtera. Tapi kurasa sampai disini tentang itu. Kejadian ini
harus berakhir bukan?
Baik
atau buruknya kita berada di posisi yang harus menang. Mau atau tidak mau kita
telah menjadi korban kegagalan idealis. Keadaan politik yang tumbuh subur tanpa
basis – basis moral harus di hentikan. Money politik dan tunggangan –
tunggangan tanpa harga diri semakin marak tanpa adanya pikiran sebagai penyaring. Akan kemana bangsa ini berlabuh?
Aku
tidak begitu paham, di zaman perubahan intelektual, zaman tumbuh suburnya
humanisme, tapi kita semakin tidak begitu baik dengan manusia itu sendiri? Bagaimana
itu bisa terjadi? Itu hampir sama seperti penjajahan. Masa pergerakan ketika
mahasiswa dilawan dengan mahasiswa. Pejuang yang dilawan dengan saudaranya
sendiri. Maka begitu juga dengan humanism yang dilawan dengan humanism itu
sendiri, sehingga yang kita dapatkan adalah kepalsuan. Dengan tujuan bahwa kita
harus tetap bodoh. 2015 tahun kita diajarkan dengan iman dan ke Kristusan, tapi
setiap harinya kita dijajah oleh kecemasan. Mulai dari pelacuran, perbudakan
tehnologi, hedonisme, keapatisan sampai pada penghisapan manusia oleh manusia
itu sendiri. Kajian tentang kristus dan Tuhan ternyata hanya sebuah catatan
kecil yang hanya untuk diri sendiri. Iman hanya kita dengan Tuhan kita. Pada
dasarnya juga iman dan Tuhan hanya kita gunakan untuk mengurangi kecemasan. Bukan
gerakan suatu perdamaian. Maka tidak begitu heran, ditengah tengah banyaknya
pengajar tentang Tuhan, malah semakin buruknya suatu lembaga yang kita sebut hirarki
kenegaraan. Pada kenyataannya, kita hanya karna tidak bisa menjawab permasalah
sosial dan kehidupan kita.
Lalu
siapa yang membawa kita beranjak dari sini? Momentum demokrasi sudah merupakan
suatu yang membosankan. Tapi nasib bangsa kita sebenarnya teruji dalam pesta
ini. Diantara kalangan pemikir sendiri, para idealis menganggap ini merupakan
hal yang buruk bahkan cenderung menjadi anti politik sehingga terjadi pembiaran
tanpa merasionalkan masyarakat. Apa daya nasib kita tetap sama. Pemikir hanya
untuk mereka yang berpikir itu juga, sementara bagi pejuang mungkin saja hanya
untuk sebuah kekuasaan yang harus mengorbankan kesejahteraan.
Mau atau tidak mau, suka atau tidak
suka, perang bagi mereka yang mempertaruhkan idealis dan bertarung bersama
rakyat, permainan bagi mereka yang hanya ingin menjadi partisipan atau yang
mengekor demi kebutuhan perut atau eksistensi yang penuh kepalsuan akan segera
di mulai. Babak baru tentang pemerintahan yang mengatur hajat hidup orang
banyak mungkin akan tercium, apakah itu sebuah dilema penyesalan atau senyum
kebahagiaan.
Tapi siapakah yang akan mampu
membuat senyum merdeka yang telah lama kita tunggu – tunggu? Siapakah yang
mampu bergerak di basis anti liberal dan anti neodal? Akhir – akhir ini banyak
orang berpikir lebih real. Untuk merubah system harus masuk pada system itu
sendiri. Mengapa tidak? Tapi semua terlihat buruk ketika manisan itu mulai
menyentuh bibir siapa yang tidak ketagihan? Ketika sebuah teorema tidak bisa
kita sentuh, saya kira itu hanya ilusi yang perlu di buang. Sama halnya ketika
hukum dan ideology mulai di rumuskan tujuan selanjutnya adalah dilaksanakan atau
dihapuskan. Sama halnya sumpah pemuda yang seharusnya perlu kita revisi.
Dunia hanya bisa diubah orang gila,
maka sebelum orang gila bicara maka kita belum berubah. Sama seperti sebuah
tangga yang sama akan tetap membawa manusia ke tempat yang sama. Dan selama
kita di isi dengan orang –orang yang sama serta cara –cara yang sama. Maka
nasib bangsa kita akan tetap sama dan semakin buruk. Maka untuk suatu kecemasan
kita perlu kesadaran akan profil kader yang akan naik dan semakin jeli dengan
keburukan.
Lalu
apa yang kita dapat dari kesadaran? Kesadaran adalah persoalan pemikiran.
Kesadaran juga bisa membuat golput bukan? Yang paling penting adalah bagaimana
kesadaran itu membuat kita sadar juga akan kekacauan. Dan ketika tidak ada
calon yang tepat, tentu golput adalah sebuah berkat. Semakin banyak golput,
maka harapannya tidak ada pemilu yang menghasilkan seorang pemerintah yang
buruk. Saatnya kita memberikan suatu pemikiran baru dan perubahan baru. Kita lihat siapa yang lebih cemas.