"Kewenangan mereka yang mengajar, sering kali menjadi kendala bagi mereka yang ingin belajar", demikian kata Marcus Cicero seorang negarawan Romawi. Kemudian ditambah pepatah lama yang mengatakan, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari".
Menilik berbagai aktivitas di hari guru ini melalui media
sosial, sepertinya agak terburu-buru mendahului potensi. Memang kalo dipandang
secara subjektif, tentu itu sesuatu yang wajar. Tapi yang tidak wajar adalah,
apa yang dipamerkan?
Postingan-postingan guru di berbagai sosial media, khususnya
facebook mengundang perhatian saya akan sebuah contoh yang akan mengarahkan
pendidikan bangsa kearah eksistensi gadget yang bisa saja melumpuhkan sifat intelligent
atau pandangan kritis sebuah generasi. Seorang guru yang memosting kegiatannya
di berbagai lembaga sekolah, tentu akan mengundang sifat kekanak-kanakan siswa
untuk berbuat hal yang sama. Problema krusial hari ini adalah akibat contoh
yang ditirukan.
Segeromboloan anak yang merasa tidak punya gadget gak keren,
sebentar aja akan menjadi budaya yang bisa saja dianggap SARA di kalangan
peserta didik. Ujungnya bayangkan, ketika sebuah rumah kehilangan sub
generation akibat pemaksaan lingkungan yang tidak sesuai perekonomian. Dampaknya
bisa luas, pertengkaran keluarganya misalnya hal kecil, putus sekolah,
penggunaan narkoba, bahkan berbagai polemik lain yang mengancam setiap saat.
Pakar psikolog sosial Unimed, Dr. Rajab Lubis pernah menyebutkan
tentang tingkat konsumen akan media sosial berpengaruh besar pada prestasi
siswa. Jadi mengapa harus diam?
Ini tentu hal sepele, tapi pendidikan menciptakan history bagi
manusia yang berujung pada aktualisasi diri. Diberbagai media, justru
menimbulkan keresahan orang tua melihat pelajar memamerkan hal-hal yang eksotis
dan terkesan memilukan karakter kaum anak muda untuk sebuah eksistensi. Tapi siapakah
yang harus disalahkan?
Kecanduan gadget inilah yang menimbulkan konsumerisasi public. Maka
hal wajar ketika pemerintah kebingungan. Apakah menciptakan ekonomi yang
mandiri diatas nafsu masyarakatnya yang besar? Dan tentu saja harus bekerja
sama dengan kaum modal dan capital.
Maka tentulah, pemecahan masalah capital harus memicu dulu
semangat produktif dengan stimulus-stimulus guru yang nyata untuk memetakan
mimpi, dari pada membuat rush money yang membahayakan perekonomian liberal yang
sudah tersusun sampai ke dapur pengemis jalanan.
Semua bermula dari contoh!!!