KAMPUSKU MENUJU OLIGARKI?
























Oligarki sering dipandang sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, dan militer. Aristoteles pernah menyebutkan, bahwa selain anarki dan demokrasi, oligarki juga merupakan bentuk pemerintahan terburuk dalam sejarahnya manusia. Oligarki memungkinkan kejahatan korporasi, baik itu dari bidang politik, ekonomi, sosial, bahkan sampai pada stabilitas keamanan bangsa. Lalu ada apa dengan lembaga pendidikan tinggi ini?

“Ada uang, ada barang,” demikian kata pepatah lama. Dunia kampus justru dipandang mengalami dilema, jika secara konsisten dipandang dari fungsi pendidikan Indonesia. Berbagai mahasiswa, yang kuliah di Universitas Negeri Di Medan beberapa kali mengeluh soal mahalnya pendidikan. Soal mini riset, projek, CBR, CJR, RI, TR dalam kurikulum KKNI benar-benar menguras ekonomi mahasiswa. Disamping itu, pelaksanaan uang kuliah tunggal masih dipandang sepihak dan sesenaknya tanpa ada sifat-sifat demokrasi. Dan kemudian diperparah, dengan beasiswa yang masih saja tetap permainan berbagai elemen dominan dalam kampus. Kesimpulannya adalah orang miskin tak akan bisa kuliah. APBD untuk pendidikan 20% masih tetap tanda tanya serta komersialisasi pendidikan sangat nyata.

Dari sudut pandang oligarkinya, dalam dunia politik tentu menjadi kemerosotan idelogi. Sebuah lembaga berwajah oligarki, ketika dibandingkan dengan demokrasi dan diatas undang-undang keterbukaan informasi public, akan menjadi kejahatan inmoral jika hari ini pendidikan masih diyakini masyarakat sebagai proses mendinamikaan manusia. Maka sifat contoh jujur dan terbuka lembaga akan menjadikan sebuah Negara yang demikian pula.

Kembali ke basis massa?
Hampir di setiap kampus sudah terjadi pengekangan mental untuk berorganisasi. Hal semacam ini sebenarnya sudah dilakukan Belanda selama 3 abad lebih, kemudian dilanjutkan dengan zaman orde baru. Pelarangan kegiatan organisasi kampus untuk keeratan sosial atau yang sering dijuluki masa perkenalan sudah dilarang dengan sangsi drop out atau skorsing dari pihak universitas. Ini akan memicu intoleran jika dikaji dari sisi kehidupan sosialnya.

Selain itu, sifat menTuhankan Gadget seperti yang pernah kusinggung sebelumnya masih menjadi pribadi egosentris mahasiswa. Pragmatisme untuk ilmu dan kepentingan semakin menyebar bahkan hampir tak bisa dibendung dalam kampus. Sifat konsumerisasi, hedonism dan materialistis menjadi musuh terutama yang dihadapi oleh mahasiswa idealis. Maka tidak heran, mahasiswa semakin pesimis untuk kembali ke garis massa sekali pun dalam keadaan terjepit.

Kembalilah ke organisasi.
Beberapa organisasi justru macet pengkaderan. Hal itu menandakan bahwa tingkat pemikiran mahasiswa yang semakin sempit. Organisasi masih diyakini sebagai sebuah alat memindahkan kesadaran untuk hal-hal yang kritis dalam berbagai lingkungan hidup, termasuk kampus. Untuk itu, organisasi harus menjadi sesuatu hal yang padu dalam kampus untuk memicu sifat pengembangan kebenaran dan keadilan.

oleh:Azari tumanggor.
Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Komentar