Oleh: Azari Tumanggor
Untuk lomba artikel Dies Natalis GMKI Cabang Medan Tahun 2015
Untuk lomba artikel Dies Natalis GMKI Cabang Medan Tahun 2015
Pada tanggal 28 Oktober
1928 merupakan salah satu bukti nyata bahwa pemuda bisa membawa Indonesia ke
dalam kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terhitung nilainya. Sumpah pemuda
menjadi sebuah fondasi pergerakan bangsa Indonesia dimana para pemikir dan
tokoh - tokoh pergerakan dibentuk dari dasar dan bisa menjadi pemimpin yang
menjanjikan. Tentunya, itulah yang menjadi sebuah harapan sekaligus kerinduan
bangsa kita ini. Sejak masa reformasi, pemuda tidur dan jauh dari realita yang
panjang. Pemuda terlalu lama bernostalgia hingga lupa pada kekuatan sendiri.
Bukan hanya hedonisme saja, tetapi ketidakrukunan umat beragama membawa pemuda
dalam sebuah perpecahan yang laten dan berkepanjangan.
Pemuda merupakan sebuah
generasi penerus bangsa. Pemuda yang mempunyai kualitas yang baik, akan membawa
bangsa ke dalam kemajuan zaman serta tidak luput dari kesejahteraan yang
menjadi tujuan Negara Indonesia. Sebaliknya juga demikian. Pemuda yang krusial
akan menjadi masalah sosial dalam berbagai penyimpangan dinamika bernegara.
Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemuda menjadi salah satu tolak ukur
serta gambaran bangsa kita ke depannya Sesuai ideologi pancasila bagian
pertama, pemuda di latarbelakangi kehidupan beragama yang dimana juga mempunyai
latarbelakang yang berbeda. Agama mencerminkan sebuah harapan dapat membawa
umat manusia kedalam keteraturan hidup, perdamaian dan kesatuan berdasarkan
kebenaran dan kasih bagi umatnya.
Dimulai dari kehidupan
pribadi hingga sampai kepada kehidupan universal manusia. Itulah salah satu
paradigma yang diangkat sehingga kehidupan beragama diatur dalam Undang –
Undang Dasar Negara kita. Ini menjadi alasan utama, tentang betapa pentingnya
kerukunan umat beragama kita tingkatkan. Sejauh ini, kerukunan umat beragama
hanyalah sebuah wacana yang semu dan bahkan kebenarannya sudah dilupakan banyak
orang. Orang – orang yang fanatik terhadap agama masing – masing muncul sebagai
pembawa derita bagi pecinta nasionalisme.
Akibatnya pemuda yang
dibentuk, akan lebih memikirkan benar atau salah dibanding fungsi dari agama
tersebut yang tidak lain hanyalah memberikan kepuasaan kebutuhan keagamaan
contohnya; hiburan rohani; penguatan jiwa; damai; kasih; dll. Itu berakibat
fatal, dimana semakin banyak orang mengkritik system dan pemerintahan yang
buruk tanpa memikirkan fungsi dari system dan pemerintahan ini sendiri,
sehingga tidak bisa menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh Negara ini. Itulah
mengapa kerukunan umat beragama sudah sepantasnya kita pertanyakan.
Semenjak Ahok menjabat
Gubernur DKI Jakarta, muncul watak – watak atau karakter yang tidak mengakui
kesetaraan umat beragama. Ahok yang beragama Kristen di kritik dan ingin di
jatuhkan Front Pembela Islam yang berujung pada ketidakselarasan yang cukup
menarik pandangan seluruh aspek masyarakat. Bukan hanya itu saja, kehadiran
media sosial sepertinya menjadi alat untuk meremehkan dan menghina agama lain.
Terutama agama islam dan agama kristen. Ini menjadi sebuah gambaran, bahwa
kerukunan umat beragama masih memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah
kehidupan beragama mempunyai perbedaan yang saling bertentangan.
Berbagai bentuk
pengkajian dalam setiap ajaran agama membawa individu mempunyai determinasi
terhadap ajaran agama masing – masing yang semakin tinggi juga. Hal ini
ditandai dengan munculnya pribadi atau kelompok yang berjuang untuk
membenarkannya ajaran agama dengan segala cara ditengah – tengah kehidupan yang
penuh kebhinekaan. Sebagai umat yang mempunyai keyakinan masing – masing, maka
dengan sendirinya akan hadir berbagai pertikaian, pertengkaran bahkan rasa
benci yang dapat mengakibatkan perpecahan regenerasi yang bertahap. Selain itu,
kelompok ini juga akan menimbulkan berbagai masalah hidup bernegara, terutama
nepotisme yang akan semakin meningkat. Itulah fakta yang dapat kita telusuri
dalam berbagai penyebab penyimpangan yang semakin banyak kita temukan di tanah air.
Dengan berbagai jenis
agama, muncul masalah minoritas dan mayoritas. “Perang Dingin” umat beragama
justru masalah yang sangat sulit di tuntaskan. Kelompok – kelompok sosial yang
berlatarbelakang agama muncul sebagai perebutan kekuasaan, baik kekuasaan dalam
birokrasi pemerintahan yang biasa muncul dari organisasi mahasiswa, maupun
kekuasaan dalam tingkatan kehidupan bermasyarakat setempat. Pemuda sebagai
ekspektasi bangsa, harusnya menciptakan nasionalisme yang tinggi demi mencapai
kesejahteraan dan kemandirian Sumatera Utara yang diawali dengan kerukunan
beragama. Hal ini merupakan bagian yang paling penting, mengingat agama
berperan penting membentuk determinasi kehidupan sosial tiap individu. Dengan kata
lain, menjalin kerukunan umat beragama dapat merajut nasionalisme yang sudah
lama semu di kalangan pemuda dan masyarakat.
Sebagai anak Negara
yang dibentuk dengan rasa nasionalis dan kepedulian yang tinggi, rasanya
sungguh sangat memalukan sekaligus memilukan ketika melihat perbedaan –
perbedaan yang bisa menimbulkan perpecahan. Demikian juga dengan kehidupan
beragama. Perbedaan system dan birokrasi dalam kehidupan beragama membutakan
pemuda – pemuda yang masih berdiri dalam posisi pemula bahwa mereka yang paling
benar hingga lupa pada pentingnya persaudaraan sesama umat beragama. Bahkan
pemuda yang kritis pun akan cenderung berkecimpung di bidang – bidang yang
masih dalam jangkauan ajaran agama masing – masing. Banyak sektor yang
tertinggal dari pandangan para pemuda. Contohnya; kemiskinan yang semakin
bertambah; hutan – hutan yang semakin menipis; pergerakan yang menuntut
kebenaran dan keadilan. Sehingga apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab
pemuda, justru dikuasai oleh orang – orang tua yang seharusnya sudah memikirkan
generasi dan inilah yang ujungnya menimbulkan permasalah yang tidak
berkesudahan. Ini menjadi salah satu tolak ukur bahwa rasa Nasionalisme sudah
harusnya dipertanyakan dalam bentuk perefleksian dibanding jawaban di atas
kertas putih.
Berbicara tentang umat
beragama, ini bukanlah kali pertama. Para pelopor kepedulian nasionalisme sudah
membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dengan visi “menjadikan
kerukunan umat Beragama sebagai suatu kebutuhan dalam pemberhasilan pembangunan
untuk mencapai kesejahteraan hidup dunia dan akhirat”. Kehadiran FKUB ini
sangat menjanjikan. Terutama apabila berkolaborasi dengan pemerintah Sumatera
Utara dengan motto “religious”. Itu menjadi harapan yang besar meskipun dalam
“real”nya bahkan tidak mempunyai bias dalam kehidupan bermasyarakat. FKUB tetap
saja hadir sebagai bentuk gagasan yang tidak pernah punya efek sosial terutama
dalam pembentukan generasi muda yang cinta akan sebuah kerukunan.
Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) tidak lain hanyalah sebagai pembentukan citra yang baik oleh
tokoh – tokoh elit berkepentingan. Pada kenyataannya, itu dibentuk dalam tujuan
konsolidasi yang tidak jauh dari strategi politik. Itulah mengapa tidak pernah
muncul kebersamaan dan persaudaraan dalam membentuk sebuah gagasan yang
memandang aspek – aspek kehidupan bernegara secara universal. Organisasi –
organisasi ini berjalan membentuk sebuah harapan, bahwa kekuatan pemuda
belumlah sirna. Organisasi mahasiswa menjadi sebuah teladan dalam mengkritisi
dan diharapkan menjadi “agent of change” dalam membawa perubahan. Walaupun pada
kenyataannya, organisasi – organisasi ini sampai sekarang belum menjadi fokus
untuk ditingkatkan, baik oleh pemerintahan, structural masyarakat atau bahkan
umat dari agama – agama masing –masing. Ini dapat kita temukan pada perkumpulan
– perkumpulan pemuda yang”stag” dan tidak mengalami perkembangan di bidang
pengaplikasian. Jadi, yang penting kita pertanyakan juga adalah “Bagaimana
membentuk kerukunan di atas fodasi yang rapuh?” Sebagai pemuda yang dinamis,
harusnya bisa berbicara tentang bagaimana persatuan dan kesatuan dengan
memunculkan kembali rasa nasionalisme itu. Dengan begitu, tidak akan muncul
lagi konsolidasi dari beda agama yang terlebih dahulu melakukan “tawar –
menawar” atau mempertimbangkan untung ruginya tentang melakukan sebuah gebrakan.
Melainkan merupakan sebagai wujud murni kepedulian terhadap tujuan bangsa dan
Negara terlebih untuk Sumatera Utara. Pemuda dituntut kembali peka apabila
tidak ingin menjadi alat perpecahan bangsa ini.