KETIKA MAHASISWA HARUS MULAI MENULIS

Di saat keadaan mata sudah mulai redup, saya sempatkan bertanya kepada Bang Benardo Sinambela. Kenapa harus menulis? Tapi ketika coretannya bisa menarik perhatian publik, saya menyadari ada sebuah sejarah yang makin hilang dari pergerakan mahasiswa.

Salah satu keberhasilan pergerakan mahasiswa tak terlepas dari kegiatan menulis. Bung Karno, Tan Malaka sampai pada Widji Thukul, Soe Hok Gie dan berbagai aktivis lainnya, merupakan sastrawan dan pemikir tulen yang menyuarakan keadaan rakyat melalui tulisan hingga pergerakan massa tidak dapat dibendung. Proses penyadaran yang demikian telah membawa Indonesia sampai sekarang ini.

Sementara itu, pergerakan mahasiswa kini semakin kehilangan kesakralan parlemen jalanan. Sejak peristiwa 1966 dan reformasi 1998, pergerakan mahasiswa yang dipandang radikal oleh masyarakat juga menjadi momok ketika penyampaian informasi yang inkondusif disertai penjarahan tak diharapkan. Boleh saja itu kerjaan oknum tertentu yang memanfaatkan situasi, tapi nyatanya masyarakat telah kehilangan kepercayaan akhlak ketika pasca 1998 juga terjadi kegiatan inmoral yang merugikan masyarakat luas. Intinya setelah itu, masyarakat juga kehilangan tempat berlindung dari pejabat penjilat yang semakin marak.

Aktivis mahasiswa yang terkenal sifatnya dengan perubahan juga semakin terjebak dalam hitam putih dunia politik. Akibatnya perjuangan perjuangan yang dilakukan hanya untuk semata-mata pertimbangan posisi atau uang. Hal-hal demikianlah, pejabat pejabat pemerintah yang tidak lain mantan aktivis mahasiswa tetap bertindak tanpa limit moral dan mahasiswa semakin tenggelam dalam proses yang tidak matang.

Kegiatan menulis sering dipandang hanya untuk penyampaian sastra tanpa memperhitungkan esensi. Santun dan jauh dari dunia kaum awan. Inilah penyebabnya, masyarakat jauh dari pencerdasan. Dan panggung politik dengan mudahnya diarahkan biar pun hanya menggunakan isu agama sekali pun!
Aktivis mahasiswa yang dianggap putih dan sakral untuk memperjuangkan hak rakyat harus dimulai dari hakekatnya. Parlemen jalanan jika dianggap mengganggu ketentraman umum harus beralih melalui tulisan di zaman media sosial yang makin diminati berbagai kalangan publik. Untuk itulah, semangat perjuangan direformasi sesuai dengan perubahan zaman.

Tentu kesulitan memang, ditengah media yang semakin bergerak ke penguasa, mahasiswa amatiran tidak bisa menerbitkan hasil-hasil pemikiran yang murni dan ujungnya rakyat tenggelam dalam perkembangan isu untuk kegiatan politik. Maka dari itu, sudah sepantasnya organisasi mahasiswa bisa menerbitkan berbagai majalah mahasiswa kembali, baik cetak atau online. GMKI, HMI, GMNI, dan organisasi cipayung lainnya misalnya. Untuk menimbulkan dorongan kembali pada semangat kebangsaan.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Komentar