Abad pertengahan bisa disebut sebagai sejarah kelam bagi
kehidupan manusia di Eropa. Otoritas Negara berkedok agama dijadikan sebagai
alat perebutan kekuasaan dan penjajahan intelektual manusia hanya semata-mata
untuk mempertahankan kekayaan serta kampanye militer. Tokoh-tokoh pemikir
seperti Galileo ditangkap dengan alasan menghina Negara dan agama. Saat itu,
Tuhan selalu disejajarkan dengan gereja dan agama.Ini adalah tindakan genosida
terbesar yang setara dengan perang dunia pasca itu. Salah satunya adalah perang
salib, yang sering dipandang sebagai perang Tuhan dalam dua Ideologi monoteis,
ternyata lebih condong kusebut perang perebutan kekuasaan. Tindakan ini kemudian memicu gejolak intelektul. Seorang
Pastor Martin Luther tahun 1546 melakukan reformasi gereja, dengan mendirikan
gereja Lutheran. Disamping itu, muncul golongan-golongan cendekiawan
Renaissance sampai abad ke-17 yang melakukan tindakan revolusi intelektual
akibat tidak puas dengan penyalahgunaan Otoritas gereja dan Negara hingga
mencari ispirasi dan ideologi yang baru humanisme klasik tentang kosmos manusia
seperti abad filsafat Yunani sebelum masehi. Kemudian dari golongan bawah,
sekitar abad ke-18 seorang tokoh sosial Karl Marx merumuskan ideology aliran
kiri yang bergerak untuk pemerataan sosial dengan memisahkan agama dan Negara. Pemikir-pemikir
inilah kemudian dianggap dewa-dewa intelektual yang berpengaruh pada kemajuan
peradaban manusia. Pemikir dianggap sakral dan idealis sejati. Meninggalkan nafsu
duniawi demi mencari kebaikan kebaikan dalam hidup berpolitik dan
bermasyarakat. Tak heran, Michael H. Hart (1978) menyebut mereka sebagai tokoh-tokoh
berpengaruh bagi sejarah manusia. Mesti dipandang hidup melarat, tapi
sumbangsihnya dalam dunia ide, memunculkan strategi sosial yang masih sangat
berpengaruh sampai saat ini. Pemikir ini saya anggap sebagai dewa-dewa yang tak
sempat dituliskan namanya dalam kitab-kitab, jika dipandang dari dimensi
perjalanan hidup manusia. Tapi dunia semakin kehilangan kendali. Ini akibat pragmatis
dan pemujaan tehnologi hingga lupa akan bertapa pentingnya ideologi manusia
serta cara berpikir. Bukan hanya Indonesia saja. Ketidak-pedulian terhadap
dunia ide, membuat manusia terjebak dalam dunia monoteis yang tak beraturan.
Manusia tak lagi memahami fungsi agama dan ilmu pendidikan dari sisi teolog. Mungkin
saja itu akibat pemikiran yang dangkal. Terjebak dalam kungkungan isu yang tak
dipertanyaan dan ujungnya melakukan tindakan menghina kemanusiaan. Peristiwa al-maidah kemarin, sepertinya membakar ego manusia
di penjuru dunia. Pemboman gereja di Samarinda, pengusiran paksa KKR Natal di
Bali dan yang lainnya, sering terjadi akibat masih memandang Tuhan sejajar
dengan agama. Ujungnya menghilangkan label “fungsi agama” karna tidak punya
analisis dan keyakinan di bidangnya. Manusia dipandang secara general dari segi
agama tanpa melihat humanistik manusia yang beraneka ragam sifat baik dan
buruknya. Peristiwa ini tak hanya di Indonesia saja. Pernyataan Donald
Trump dalam kampanye pemilihan Presiden AS menandakan bahwa hal ini sudah
merebak hampir di seluruh dunia. Ini sangat menyakiti hati semua manusia bagi
yang percaya humanisme sosial dan berpikir realita hidup. Pemboman Gereja
Kardinal di mesir membuat saya semakin yakin dengan itu. Mesir sebagai puncak
peradaban dunia, telah banyak melahirkan cendekiawan dan tokoh-tokoh filsafat. Pengaruh
mesir dalam dunia pengetahuan yang sangat beresensi, kini telah melakukan
kemunduran.
Peristiwa rohingnya di Nyammar membuat saya
menyimpulkan itu. Pembunuhan dan pemerkosaan terhadap muslim menyatakan bahwa,
manusia mengalami kemunduran dalam berpikir tentang manusia. Dan masih
menganggap secara general manusia dan agama, serta agama dan Tuhan. Ini
menandakan dunia krisis intelektual dan tokoh pemikir.