Pendidikan selalu mengajarkan anak bangsa untuk taat kepada aturan, sekali pun itu tak sejalan dengan tujuan. Disisi globalnya masyarakat miskin dipaksa antri panjang untuk mengisi data administrasi, katanya untuk Negara dan kemajuan, sementara para pemberangus kemanusiaan seenaknya saja hidup dalam lingkaran dan dengan mudahnya mencapai tujuan. Itulah mengapa kita akan selalu hidup dalam kesenjangan. Orang miskin akan tetap dalam takdir jiwanya, orang kaya terus melaju tanpa ada hambatan akses. Maka dari itu kita dipaksa harus merevisi segala pengalaman kehidupan, mulai dari pikiran dan tindakan. Jika diam, itu tandanya mulai dari sanak saudara, orang tua dan ratusan generasi kita akan punah akan kesejahteraan sosial.
Aku tak mengajak anda untuk jadi
aktivis politik, tak juga menjadi orang yang pandai berkoar-koar ketika ada
yang kita sebut ketidak-adilan global. Karna mungkin pemikiran kita tak akan
sejalan. Namun yang terbaik dari manusia adalah kita punya tujuan, dan alasan
kenapa harus mencapai tujuan tersebut.
Aku sendiri telah terjebak. Maka catatan
ini kukira menjadi hal baik untuk kita perbincangkan, dan kita akan tetap
diskusi. Bukan untuk organisasi administrative, karna aku anggap itu
menghalangi tujuan, namun tetap berbincang untuk tujuan hidup sama seperti yang
dilakukan Bill Gates sebelum menciptakan Microsoft sewaktu menjadi mahasiswa. Tapi
ada masalah terbesar untuk itu, yaitu “BUDAYA MALAS” kita.
Budaya malas itu memang sudah
berakar. Semenjak penjajahan Belanda dan Jepang selama 350 tahun, nenek monyang
kita kehilangan tujuan. Mereka kehilangan harapan. Sebab para raja-raja yang
dianggap mendukung kesejahteraan rakyatnya telah menghianat, atau raja-raja
yang berjuang telah mati di medan menuju pembebasan. Maka dari itu muncul sifat
kerumunan tanpa tujuan. Wanita mulai sibuk ngerumpi dan mencari kutu, para pria
sibuk menghabiskan waktu dengan rokok dan minuman. Dan sampai hari ini,
sepertinya itu menjadi penyakit bawaan yang tak bisa hilang, baik dari golongan
mahasiswa, pelajar atau kaum awam.
Sebetulnya sejak Gerakan bung
Tomo, harapan sudah mulai ada. Tapi bukan untuk merdeka, secara situasionis. Hanya
untuk tidak dijajah. Dan itu pun hanya untuk golongan aktivis dan pejuang
kemerdekaan. Maka siapa pun kita yang bukan keturunan dari mereka, hanya ditargetkan
sebagai kawanan budak, yaitu orang yang dipaksa mengantri untuk mencapai tujuan
mereka. Tapi anugrah terbaik dari Tuhan, kita diberikan pikiran sebagai alat
berjuang untuk membuktikan kalau kita setara.
Pragmatis sangat mempengaruhi
sejarah intelektual Amerika. Pragmatis berasal dari pragma yang berarti
tindakan atau perbuatan. Diartikan bahwa pemikiran harus menuruti tindakan. Jadi
hipotesa atau teori yang dianggap berhasil jika dan hanya jika membuahkan suatu
hasil. Dalam perkembangan ilmunya, pragmatis merupakan penggabungan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan hingga nanti membuahkan suatu hal yang baik untuk
manusia.
Ada dua yang harus kita punya. Pertama,
ide atau keyakinan kenapa kita harus melakukan tindakan tersebut. Kedua, metode
untuk mencapai tujuan. Untuk selanjutnya kita harus punya paham kemajemukan akan
kebenaran (thing as thing) dan kebenaran matematikawan (ketidakmungkinan lagi).
Itu memang agak sedikit susah dipahami. Berlanjut..