PRAGMATISM UNTUK BUDAYA MALAS INDONESIA.























Pendidikan selalu mengajarkan anak bangsa untuk taat kepada aturan, sekali pun itu tak sejalan dengan tujuan. Disisi globalnya masyarakat miskin dipaksa antri panjang untuk mengisi data administrasi, katanya untuk Negara dan kemajuan, sementara para pemberangus kemanusiaan seenaknya saja hidup dalam lingkaran dan dengan mudahnya mencapai tujuan. Itulah mengapa kita akan selalu hidup dalam kesenjangan. Orang miskin akan tetap dalam takdir jiwanya, orang kaya terus melaju tanpa ada hambatan akses. Maka dari itu kita dipaksa harus merevisi segala pengalaman kehidupan, mulai dari pikiran dan tindakan. Jika diam, itu tandanya mulai dari sanak saudara, orang tua dan ratusan generasi kita akan punah akan kesejahteraan sosial.

Aku tak mengajak anda untuk jadi aktivis politik, tak juga menjadi orang yang pandai berkoar-koar ketika ada yang kita sebut ketidak-adilan global. Karna mungkin pemikiran kita tak akan sejalan. Namun yang terbaik dari manusia adalah kita punya tujuan, dan alasan kenapa harus mencapai tujuan tersebut.

Aku sendiri telah terjebak. Maka catatan ini kukira menjadi hal baik untuk kita perbincangkan, dan kita akan tetap diskusi. Bukan untuk organisasi administrative, karna aku anggap itu menghalangi tujuan, namun tetap berbincang untuk tujuan hidup sama seperti yang dilakukan Bill Gates sebelum menciptakan Microsoft sewaktu menjadi mahasiswa. Tapi ada masalah terbesar untuk itu, yaitu “BUDAYA MALAS” kita.

Budaya malas itu memang sudah berakar. Semenjak penjajahan Belanda dan Jepang selama 350 tahun, nenek monyang kita kehilangan tujuan. Mereka kehilangan harapan. Sebab para raja-raja yang dianggap mendukung kesejahteraan rakyatnya telah menghianat, atau raja-raja yang berjuang telah mati di medan menuju pembebasan. Maka dari itu muncul sifat kerumunan tanpa tujuan. Wanita mulai sibuk ngerumpi dan mencari kutu, para pria sibuk menghabiskan waktu dengan rokok dan minuman. Dan sampai hari ini, sepertinya itu menjadi penyakit bawaan yang tak bisa hilang, baik dari golongan mahasiswa, pelajar atau kaum awam.

Sebetulnya sejak Gerakan bung Tomo, harapan sudah mulai ada. Tapi  bukan untuk merdeka, secara situasionis. Hanya untuk tidak dijajah. Dan itu pun hanya untuk golongan aktivis dan pejuang kemerdekaan. Maka siapa pun kita yang bukan keturunan dari mereka, hanya ditargetkan sebagai kawanan budak, yaitu orang yang dipaksa mengantri untuk mencapai tujuan mereka. Tapi anugrah terbaik dari Tuhan, kita diberikan pikiran sebagai alat berjuang untuk membuktikan kalau kita setara.
Pragmatis sangat mempengaruhi sejarah intelektual Amerika. Pragmatis berasal dari pragma yang berarti tindakan atau perbuatan. Diartikan bahwa pemikiran harus menuruti tindakan. Jadi hipotesa atau teori yang dianggap berhasil jika dan hanya jika membuahkan suatu hasil. Dalam perkembangan ilmunya, pragmatis merupakan penggabungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan hingga nanti membuahkan suatu hal yang baik untuk manusia.


Ada dua yang harus kita punya. Pertama, ide atau keyakinan kenapa kita harus melakukan tindakan tersebut. Kedua, metode untuk mencapai tujuan. Untuk selanjutnya kita harus punya paham kemajemukan akan kebenaran (thing as thing) dan kebenaran matematikawan (ketidakmungkinan lagi). Itu memang agak sedikit susah dipahami. Berlanjut..

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Komentar